Selasa, 30 Maret 2010

kasus korupsi di indonesia

1. Sudjiono Timan
Sudjiono Timan (lahir di Jakarta, 9 Mei 1959; umur 50 tahun) adalah seorang pengusaha asal Indonesia. Dari tahun 1995 hingga 1997 ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI). Ia saat ini merupakan seorang buronan karena melarikan diri dari hukuman pengadilan. Oleh pengadilan, Timan telah diputuskan bersalah karena telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai direktur utama BPUI dengan cara memberikan pinjaman kepada Festival Company Inc. sebesar 67 juta dolar AS, Penta Investment Ltd sebesar 19 juta dolar AS, KAFL sebesar 34 juta dolar AS, dan dana pinjaman Pemerintah (RDI) Rp 98,7 miliar sehingga negara mengalami kerugian keuangan sekitar 120 juta dolar AS dan Rp 98,7 miliar.
Pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Timan dibebaskan dari tuntutan hukum karena perbuatannya dinilai bukan tindak pidana. Menanggapi vonis bebas itu, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi dan meminta Majelis Kasasi menjatuhkan pidana sebagaimana tuntutan terhadap terdakwa yaitu pidana delapan tahun penjara, denda Rp30 juta subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp1 triliun.
Pada Jumat, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung (MA) yang dipimpin oleh Ketua MA Bagir Manan memvonis Sudjiono Timan dengan hukuman 15 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan membayar uang pengganti sebesar Rp 369 miliar.
Namun, saat Kejaksaan hendak mengeksekusi Sudjiono Timan pada Selasa, 7 Desember 2004, yang bersangkutan sudah tidak ditemukan pada dua alamat yang dituju rumah di Jalan Prapanca No. 3/P.1, Jakarta Selatan maupun rumah di Jalan Diponegoro No. 46, Jakarta Pusat dan dinyatakan buron dengan status telah dicekal ke luar negeri oleh Departemen Hukum dan HAM.
Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menyebarkan foto dan datanya ke masyarakat melalui televisi dan media massa sebagai salah satu 14 koruptor buron yang sedang dicari.




2. Eko Edi Putranto
Eko Edi Putranto (lahir 9 Maret 1967; umur 42 tahun) adalah terpidana kasus korupsi di Bank Harapan Sentosa (BHS). Ia telah divonis untuk menjalani 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan pembayaran uang pengganti sebesar Rp 1,95 trilyun. Ia disidang secara in-absentia dan tidak dapat dieksekusi badan sesuai putusan pengadilan tinggi DKI Jakarta pada tanggal 8 November 2002.
Namun sampai saat ini statusnya masih buron dan diduga berada di Australia. Status buronnya ditetapkan Kejaksaan Agung pada tanggal 30 Oktober 2006. Ia adalah mantan komisaris BHS dan merupakan putera dari Hendra Rahardja yang menjadi direktur bank tersebut. Dalam rilis kejaksaan agung dideskripsikan bahwa ia mempunyai ciri-ciri tinggi badan sekitar 170 cm, warna kulit putih, bentuk muka oval, mata sipit dan rambut hitam lurus.
Ia dipersalahkan karena selaku komisaris atau pemegang saham bersama-sama dengan ibunya terpidana Sherny Konjongian, selaku Direktur Kredit, antara tahun 1992-1996 telah memberikan persetujuan kredit kepada 6 perusahaan dalam grup. Ia juga memberikan persetujuan kredit kepada 28 lembaga pembiayaan yang ternyata merupakan rekayasa. Karena kredit itu oleh lembaga pembiayaan disalurkan kepada perusahaan grup. Caranya dengan disalurkan lewat penerbitan giro kepada perusahaan grup tanpa proses administrasi kredit dan tidak dicatat atau dibukukan. Selanjutnya, beban pembayaran lembaga pembiayaan kepada BHS dihilangkan dan dialihkan kepada perusahaan grup. Akibatnya, negara dirugikan Rp 1,95 triliun.








3. SOEHARTO
Soeharto memiliki dan mengetuai tujuh buah yayasan, yaitu Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, Yayasan Trikora. Pada 1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995. Keppres ini menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.
Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999.
Menurut Transparency International, Soeharto menggelapkan uang dengan jumlah terbanyak dibandingkan pemimpin dunia lain dalam sejarah dengan perkiraan 15–35 miliar dolar A.S. selama 32 tahun masa pemerintahannya.[4]
Pada 12 Mei 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu Tragedi Trisakti, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh mengeluarkan pernyataan bahwa pihaknya telah mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) perkara mantan Presiden Soeharto, yang isinya menghentikan penuntutan dugaan korupsi mantan Presiden Soeharto pada tujuh yayasan yang dipimpinnya dengan alasan kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan. SKPP itu dikeluarkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Mei 2006, namun SKPP ini lalu dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 12 Juni 2006.








4. Khairiansyah Salman
Khairiansyah Salman (lahir di Medan, Sumatera Utara, 14 Juli 1969; umur 40 tahun) adalah mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan di Indonesia yang dikenal karena berhasil membongkar kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum.
Ia menerima penghargaan Integrity Award dari Transparency International (TI) pada 11 November 2005 atas jasa-jasanya dalam membongkar kasus korupsi di KPU tersebut.
Pada 21 November 2005, ia dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung karena menerima Rp. 10 juta dari Dana Abadi Umat yang seharusnya digunakan untuk kegiatan sosial, tempat ibadah dan pendidikan. Tiga hari kemudian, diumumkan bahwa Khairiansyah mengembalikan penghargaan yang diterimanya dari TI "agar tidak mencederai integritas Integrity Award".
5. RUSDIHARDJO
Letnan Jenderal Kanjeng Pangeran Hario Rusdihardjo (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 7 Juli 1945; umur 64 tahun) adalah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dari 4 Januari 2000 hingga 22 September 2000. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Kapolri, ia menjadi Duta Besar Indonesia untuk Malaysia dari tahun 2004 hingga 2006. Ia sempat mendapat kecaman pada awal 2005 karena meminta maaf kepada pemerintah Malaysia akibat peristiwa penginjakan dan pembakaran bendera Malaysia dalam aksi unjuk rasa di depan kedubes Malaysia soal Peristiwa Ambalat.
Kasus korupsi
Pada tahun 2008, KPK menyatakan Rusdiharjo sebagai tersangka dalam kasus pungutan liar pembuatan visa di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Malaysia. Rusdiharjo diduga menerima pungutan liar sebesar 900 juta rupiah. Kasus pungutan liar ini terungkap setelah Badan Pencegah Rasuah Malaysia melaporkannya kepada KPK.[1] Oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Rusdihardjo kemudian divonis 2 tahun penjara karena bersalah dalam kasus korupsi tersebut.[2] Upaya banding mengurangi vonisnya menjadi satu setengah tahun. Pada 30 Maret 2009, Rusdihardjo selesai menjalani masa tahanannya karena telah mendapatkan pembebasan bersyarat.
6. Said Agil Husin Al Munawar
Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al Munawar, MA (lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 26 Januari 1954; umur 55 tahun) adalah seorang pengajar dan mantan Menteri Agama Indonesia. Ia menjabat sebagai Menteri Agama pada Kabinet Gotong Royong (2001-2004).
Pengajar lulusan Fakultas Syariah di Unversitas Ummu AI Quro Makkah (Master of Art 1983; Ph.D. 1987) di Arab Saudi ini pernah bekerja sebagai dosen pada beberapa perguruan tinggi sebelum menjadi menteri, terutamanya perguruan tinggi Islam seperti Institut Agama Islam Negeri di beberapa tempat di Indonesia. Selain itu, Munawar juga pernah menjadi Dosen Pendidikan Kader Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia Pusat pada tahun 1990 hingga 1998.
KontroverSI Penggalian di komplek Prasasti Batutulis
Pada awal Agustus 2002, ia menyuruh orang melakukan penggalian di komplek prasasti Batutulis. Ia meyakini, konon berdasarkan petunjuk dalam mimpi, bahwa di bawah prasasti tersebut tersimpan emas harta karun peninggalan zaman Prabu Siliwangi yang dapat digunakan untuk membayar seluruh hutang negara sebesar hampir Rp 1.500 triliun atau setara dengan 10.000 truk emas batangan. Protes dari kalangan arkeologi tidak ditanggapi. Setelah dilakukan penggalian selama dua minggu dibawah pengawasan Agil, penggalian dihentikan dan hanya menghasilkan jejak galian tanah sepanjang 5m, lebar 1m, dan kedalaman 2m tanpa secuil logam pun apalagi emas.
Setelah berita penggalian itu menyebar, demonstrasi dan kecaman datang dari masyarakat luas dan menghendaki Agil untuk mengundurkan diri dan posisi menteri. Namun demikian, Agil tetap bertahan pada posisinya hingga berakhir masa tugasnya.
Kasus korupsi
Pada 7 Februari 2006, ia divonis hukuman 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena dinyatakan terbukti melakukan korupsi dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan Dana Abadi Umat (DAU) pada tahun 2002-2004. Penyelewengan BPIH Munawar mencapai Rp. 35,7 miliar, sedangkan DAU yang diselewengkan berjumlah Rp 240,22 miliar.


7. THEO TOEMION
Melalui Program Tahun Investasi Indonesia atau Program Investment Year (IIY) 2003-2004, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan penyelidikan seputar kegiatan tersebut. Ia pertama kali diperiksa pada 7 Desember 2005 dan ditahan pada 28 Desember 2005. Kemudian, ia diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 20 April 2006 dan dituntut enam tahun penjara, denda Rp 300 juta, serta harus membayar uang pengganti sebesar Rp 26,346 miliar.
Ia didakwa bersalah karena melakukan tindak pidana korupsi dalam Program Investment Year (IIY) 2003-2004. Tuntutan enam tahun penjara dibacakan secara bergantian oleh jaksa penuntut umum yang terdiri dari Suharto, Muhibuddin, Chatarina Muliana Girsang, dan Riyono dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi pada 24 Juli 2006. Kemudian pada 25 Agustus 2006, Toemion divonis enam tahun penjara oleh Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi.
Dari fakta persidangan dan bukti surat akta pendirian PT Trang Channel Indonesia Indah terungkap bahwa stasiun televisi Trang Channel adalah milik PT Trang Indonesia Indah yang kepemilikannya 100 persen miliknya. Stasiun televisi itu didirikan pada 22 Oktober 2003. Program stasiun TV Trang Channel tidak ada dalam proyek Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tahun 2003 dan juga tidak tercantum dalam surat perjanjian kerja antara BKPM dan PT Catur Dwi Karsa Indonesia (CDKI).
Pada 1 Maret 2007, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya. Majelis kasasi tetap memvonisnya enam tahun penjara. Permohonan kasasi diputus secara bulat olah majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung Parman Suparman dengan anggota Moegihardjo, Krisna Harahap, Hamrat Hamid, dan Odjak Parulian Simanjuntak. Theo diharuskan membayar pengganti kerugian korupsi sebesar Rp 23,115 miliar dalam waktu satu bulan atau diganti dengan pidana penjara selama lima tahun.




8. Suwarna Abdul Fatah
Mayor Jenderal TNI (Angkatan Darat) H. Suwarna Abdul Fatah (lahir di Bogor[1 Januari 1944; umur 66 tahun) adalah Gubernur Kalimantan Timur ke-10 dan 11. Sebelumnya dia adalah Wakil Gubernur Kalimantan Timur bidang Ekonomi dan Pembangunan dan menggantikan H.M. Ardans sebagai Gubernur sejak 1998. Pada tahun 2003, dia terpilih kembali untuk masa jabatan kedua hingga tahun 2008 mendatang. Ia dinonaktifkan dari jabatannya sejak 8 Desember 2006 karena diduga terkait kasus korupsi (lihat di bawah).
Kasus korupsi
Suwarna ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi pada 19 Juni 2006 dalam kasus dugaan korupsi pelepasan izin pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit satu juta hektare di wilayah Penajam Utara, Berau, Kalimantan Timur yang melibatkan Surya Dumai Group pimpinan Martias alias Pung Kian Hwa.[1] Ia mulai diadili dalam kasus ini di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada 9 November 2006.[2]
Pada 13 Maret 2007, Suwarna melaporkan para penyidik KPK ke kepolisian karena menduga mereka telah merekayasa dokumen yang dijadikan barang bukti dalam perkara korupsi tersebut.[3] Kemudian pada 22 Maret, majelis hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi memutuskan untuk memvonis Suwarna dengan hukuman 1,5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena terbukti bersama-sama dengan mantan Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi Dephutbun Waskito Soerjodibroto, mantan Kakanwil Kehutanan dan Perkebunan Kaltim Uuh Aliyudin dan mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kaltim Robian menyalah gunakan wewenang mereka sehingga merugikan negara sebesar Rp 5,167 miliar, sementara dakwaan lain tentang penerbitan izin pemanfaatan kayu dan berbagai surat yang dikeluarkan Suwarna tidak dapat dibuktikan.[4]





9. Probosutedjo
Probosutedjo (lahir di Kemusuk, Yogyakarta, 1 Mei 1930; umur 79 tahun) adalah seorang pengusaha Indonesia yang sukses. Ia adalah Direktur Utama PT. Menara Hutan Buana dan salah satu pendiri Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia. Ia juga adalah adik seibu mantan presiden Indonesia, Soeharto.
Kasus korupsi
Pada April 2003, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara kepada Probosutedjo atas kasus korupsi dana reboisasi hutan tanaman industri (HTI) senilai Rp.100,931 miliar. Probosutedjo langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, yang kemudian mengurangi masa hukumanya menjadi dua tahun.
Probosutedjo lalu mengajukan kasasi pada Juni 2004 dan hingga kini putusan kasasi tersebut belum keluar. Majelis Hakim yang menangani kasasi Probosutedjo adalah Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim. Karena sudah setahun belum mengeluarkan putusan, maka Majelis Hakim ini pun kemudian digantikan Iskandar Kamil, Atja Sondjaya, Harifin A. Tumpa, Djoko Sarwoko dan Rehngena Purba sejak 31 Oktober 2005.
Pada 11 Oktober 2005, ia mengaku telah memberikan uang sebesar Rp.6 miliar kepada pengacaranya, Harini Wiyoso untuk menyuap Bagir Manan dan para anggota jaksa lainnya. Pada 28 November 2005, Majelis Hakim tingkat kasasi Mahkamah Agung memutuskan untuk menghukum Probosutedjo empat tahun penjara serta denda sebesar Rp.30 juta subsider 3 bulan penjara. Ia juga harus membayar kembali Rp.100,931 miliar sebagai pengganti uang yang dikorupsi tersebut.
Setelah menjalani 2/3 masa hukumannya di Lembaga Permasyrakatan Sukamiskin di Bandung, ia dibebaskan pada 12 Maret 2008.





10. Nazaruddin Sjamsuddin
Nazaruddin Sjamsuddin Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, MA (lahir di Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, 5 November 1944; umur 65 tahun) adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas memantau jalannya Pemilu di Indonesia.
Selain bekerja sebagai Ketua KPU, Nazaruddin juga adalah seorang dosen di Universitas Indonesia. Dia juga pernah menjadi anggota MPR.
Dia mempunyai empat orang anak dari perkawinannya dengan Nurnida.
Kasus korupsi
Pada 20 Mei 2005, Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di KPU. Oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ia dituntut hukuman penjara selama delapan tahun enam bulan, membayar denda sebesar Rp. 450 juta, serta mengganti uang negara sebesar Rp 14,193 miliar. Jika uang negara tersebut tidak dapat dibayarkan, maka Nazaruddin akan dipenjara tambahan selama empat tahun.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lalu menjatuhinya hukuman penjara selama tujuh tahun pada 14 Desember 2005. Ia juga diharuskan membayar denda sebesar Rp 300 juta. Dalam putusannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan Nazaruddin terbukti korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan diri sehingga merugikan keuangan negara Rp 5,03 miliar.
Selain didenda, Nazaruddin juga diperintahkan untuk membayar uang pengganti Rp 5,03 miliar secara tanggung renteng dengan Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU.






11. Sjachriel Darham
Sjachriel Darham (lahir di Amuntai, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, 3 April 1945; umur 64 tahun[1]) adalah Gubernur Kalimantan Selatan pada periode 2000-Maret 2005. Sejak awal Desember 2006, ia diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan dengan dugaan penyalahgunaan anggaran belanja rutin Pos Kepala Daerah Kalimantan Selatan periode 2001-2004.
Kasus korupsi
Dalam penyelidikan, KPK menemukan bukti anggaran rutin dalam APBD Kalimantan Selatan sebagian digunakan untuk kepentingan pribadinya. Dalam pemeriksaan awal Desember 2006, ia sempat membantahnya, namun dalam keterangan pers yang dibagikan kepada wartawan oleh staf Humas KPK, Johan Budi SP, disebutkan sebagian anggaran rutin digunakan untuk membeli kendaraan, memperbaiki rumah pribadi, membeli rumah toko, dan membayar asuransi dengan total mencapai Rp 5,47 miliar.
Atas dugaan itu, ia ditahan KPK. Ia diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 atau Pasal 8 Undang-undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah menjalani pemeriksaan selama 11 jam, ia ditahan selama 20 hari sejak 3 Januari 2007. Dalam masa penahanan, ia menderita sakit penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, dan diabetes melitus. Ia dirawat di Rumah Sakit Polri pada 12 Januari 2007. Seorang anggota keluarganya, Evi Ayunita, menjelaskan sebelum ditahan KPK ia telah menjalani pemeriksaan intensif dokter di Banjarmasin. Oleh dokter, Sjachriel disarankan menjalani pemeriksaan lanjutan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (Jakarta).
Selama ditahan KPK ditahanan Mabes Polri, keluarganya beberapa kali minta penangguhan penahanan. Permintaan itu belum dipenuhi sampai akhirnya dokter dari Mabes Polri mengatakan kondisinya mengkhawatirkan.
Pada 24 Agustus 2007, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4 tahun penjara kepada Darham karena terbukti bersalah menyelewengkan pos anggaran daerah.

12. Abdullah Puteh
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam yang kini non aktif ini menjadi tersangka korupsi APBD dalam pembelian helikopter dan genset listrik, dengan dugaan kerugian Rp 30 miliar.
Kasusnya kini masih ditangani pihak kejaksaan dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pusat Data dan Analisa Tempo, Fitrio – Tempo.
13. Burhanudin Abdullah
JAKARTA. Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanudin Abdullah hari ini dieksekusi badan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terpidana dalam kasus penyelewengan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) ini resmi dipindahkan dari Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Markas Besar (Mabes) Polri ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang.

"Ya hari ini dieksekusi," kata Direktur Penuntutan KPK, Ferry Wibisono. Pemindahan Burhanudin baru bisa dilakukan setelah KPK menerima putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incraht). Salinan putusan didapatkan dari Mahkamah Agung (MA).

Sebelum dieksekusi, Burhanudin yang tak puas dengan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun mengajukan kasasi ke MA. Majelis kasasi yang diketuai oleh Djoko Sarwoko mengganjar Burhanudin dengan hukuman tiga tahun penjara dan denda Rp 200 juta.

Putusan MA ini lebih ringan ketimbang vonis Pengadilan Tinggi yakni 5,5 tahun. Sementara putusan Pengadilan Tipikor mengganjar Burhanudin dengan kurungan lima tahun.

Burhanudin diseret ke meja hijau karena dianggap bersalah dalam pencairan duit Rp 100 miliar dari BI yang diambil dari YPPI. Dari total duit ini, Rp 68,5 miliar masuk ke kantong lima petinggi BI untuk dana bantuan hukum. Sementara Rp 31,5 miliar digelontorkan ke sejumlah Anggota DPR RI Komisi IX untuk mengamandemen UU BI dan sosialisasi penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

14. Syafruddin Temenggung
Syafruddin Arsjad Temenggung (lahir di Palembang, 9 Agustus 1959; umur 50 tahun) adalah Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional dari 19 April 2002 hingga 27 Februari 2004. Ia adalah insinyur planologi lulusan Institut Teknologi Bandung (1983). Ia kemudian melanjutkan pendidikan di luar negeri, dan lulus dengan Diploma dalam bidang Pembangunan Perkotaan dari University College London (1987), Master dalam bidang Perencanaan Kota dari Universitas Cornell (1990) dan Doktor dalam bidang Ekonomi Wilayah (mayor) dan Ekonomi Pembangunan (minor) dari Cornell (1994). Namanya mulai dikenal sejak menjabat sebagai Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan sejak tahun 2000. Ia lalu dilantik sebagai Ketua BPPN dua tahun kemudian, menjabat hingga BPPN dibubarkan. Temenggung kemudian menghilang dari perhatian publik hingga tahun 2006 saat ia ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penjualan pabrik gula di Gorontalo. Dua minggu kemudian pada 22 Februari 2006, ia resmi ditahan.
Selama 5 bulan 19 hari ia mendekam di tahanan, hingga kemudian penahanannya ditangguhkan. Dalam masa itu, Kejaksaan Agung tidak juga berhasil menemukan indikasi korupsi yang dilakukan Syafruddin dalam kasus penjualan pabrik gula di Gorontalo (Pabrik Gula Rajawali III). Akhirnya kejaksaan menghentikan perkaranya.
15. Nazaruddin Sjamsuddin
Prof. Dr. Nazaruddin Sjamsuddin, MA (lahir di Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, 5 November 1944; umur 65 tahun) adalah Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bertugas memantau jalannya Pemilu di Indonesia.
Selain bekerja sebagai Ketua KPU, Nazaruddin juga adalah seorang dosen di Universitas Indonesia. Dia juga pernah menjadi anggota MPR.
Dia mempunyai empat orang anak dari perkawinannya dengan Nurnida.
Kasus korupsi
Pada 20 Mei 2005, Nazaruddin ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di KPU. Oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, ia dituntut hukuman penjara selama delapan tahun enam bulan, membayar denda sebesar Rp. 450 juta, serta mengganti uang negara sebesar Rp 14,193 miliar. Jika uang negara tersebut tidak dapat dibayarkan, maka Nazaruddin akan dipenjara tambahan selama empat tahun.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lalu menjatuhinya hukuman penjara selama tujuh tahun pada 14 Desember 2005. Ia juga diharuskan membayar denda sebesar Rp 300 juta. Dalam putusannya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan Nazaruddin terbukti korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan diri sehingga merugikan keuangan negara Rp 5,03 miliar.
Selain didenda, Nazaruddin juga diperintahkan untuk membayar uang pengganti Rp 5,03 miliar secara tanggung renteng dengan Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU.

Tidak ada komentar: